RADIKALISME DAN EKSTREMISME PENYEBAB DISINTEGRASI BANGSA DAN NEGARA
Terkait
Menghadapi Tantangan Global Megatrend 2050, Diperlukan Cara Menyiapkan Tenaga Terampil di Masa Depan
329 Peserta Lulus SKD dan Berhak Mengikuti SKB
Pemanggilan Asesmen Pelaksana Calon Ketua Tim Kerja
678 PPPK ikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Nilai dan Etika pada Instansi Pemerintah
BKPSMD Turut Partisipasi Bersih Pantai Sodong Dalam Rangka Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat
Potensi bahaya paham radikal dan ekstrim merupakan sesuatu yang dapat menganggu dan merusak tatanan birokrasi dalam dunia ASN. Radikalisme menurut KBBI adalah “paham atau aliran radikal dalam politik”; “Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan car kekerasan atau drastis”; dan “sikap ekstrim dalam aliran politik. Upaya mewujudkan birokrasi yang bebas dari paham radikalisme pernah dilakukan dengan adanya surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN yang ditandatangani 12 November 2019 silam oleh 11 kementerian dan lembaga antara lain: Kementerian PAN RB, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Upaya yang dapat dilakukan dalam memerangi radikalisme adalah membentuk sinergitas, komunikasi, dan koordinasi yang akan membentuk kolaborasi strategis antar berbagai pihak yang terlibat.
Selanjutnya ekstremisme adalah paham/keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Umumnya ekstremisme ini ditunjukkan dengan keadaan atau tindakan menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya.
Banyak yang menyangka radikalisme dan ekstremisme lebih ke persoalan terkait agama. Realitanya politik dan budaya juga bisa menjadi pemicu radikalisme dan ekstremisme. Munculnya kedua hal tersebut karena persepsi individu yang memiliki tendensi untuk mengikuti sesuatu pemikiran yang dianggap paling benar bahkan dianggap dilakukan oleh orang banyak atau figur publik tertentu sehingga mengesampingkan beberapa hal seperti nilai-nilai Pancasila dan konstitusi dalam hal ini UUD 1945. Secara psikologi terkadang beberapa orang yang radikal dan ekstemis merasa pada tahapan aktualisasi diri ketika menjalani pemikiran yang mereka yakini sehingga tidak dapat menerima saran dan masukan positif dari pihak lain.
Era internet memungkinkan arus informasi yang begitu cepat dan mudah diakses oleh siapa saja namun minim filter ideologi maupun konstitusi sehingga menyebabkan seseorang akan menjadi radikal ataupun ekstremis. Wawasan global memang perlu untuk pengetahuan dan pengembangan diri seseorang, namun ketika konten yang dibaca sudah mempengaruhi bahkan mengubah pola pikir seseorang menjadi radikal dan ekstremis maka sudah saatnya diperlukan adanya tindakan untuk menahan dan menanggulangi hal tersebut agar tidak mengakar di lingkungan khususnya dalam hal ini terkait dunia birokrasi yang dijalankan ASN.
Radikalisme dan ekstremisme tentunya akan menyebabkan disintegrasi bangsa karena nilai-nilai kerja sama maupun gotong royong tidak akan diterapkan secara maksimal. Tujuan dan sasaran bersama pun sulit tercapai karena ada agenda-agenda tertentu yang merusak integritas yang telah terbentuk. Pelaku radikalisme dan ekstremisme cenderung membatasi interaksi sosial mereka dengan lingkungan sekitarnya karena munculnya pemikiran eksklusif. Pada akhirnya, persatuan dan kesatuan semua elemen NKRI sebagai implementasi sila ke-3 tidak akan terwujud sehingga menyebabkan disintegrasi bangsa. Ketika bangsa ini tidak bisa bersatu padu, keadaannya terpecah belah bahkan keutuhan dan persatuannya juga menghilang dan timbul perpecahan. Disintegrasi bangsa ini menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selama ini tentunya menjadi perhatian serius terutama dalam lingkungan ASN.
Pemerintah sebagai salah satu elemen dari konsep penta heliks harus dapat menciptakan suasana penyelenggaraan pemerintahan dan reformasi birokrasi yang terarah dan kondusif untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati sebelumnya. Selain untuk menghindari disintegrasi bangsa, inovasi yang mendukung kolaborasi sinergis dapat terwujud sehingga potensi bahaya radikalisme dan ekstremisme dapat diredam bersama demi keutuhan bangsa dan negara kita. Memang upaya untuk menanggulangi radikalisme dan ekstremisme ini tidak mudah. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menemukan kembali definisi positif dari agama, politik, dan budaya yang diyakini serta diselaraskan dengan ideologi pancasila dan konstitusi UUD 1945. Definisi positif tersebut tentunya akan menguatkan karakter dan kepribadian bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara kita.
Banyak yang menyangka radikalisme dan ekstremisme lebih ke persoalan terkait agama. Realitanya politik dan budaya juga bisa menjadi pemicu radikalisme dan ekstremisme. Munculnya kedua hal tersebut karena persepsi individu yang memiliki tendensi untuk mengikuti sesuatu pemikiran yang dianggap paling benar bahkan dianggap dilakukan oleh orang banyak atau figur publik tertentu sehingga mengesampingkan beberapa hal seperti nilai-nilai Pancasila dan konstitusi dalam hal ini UUD 1945. Secara psikologi terkadang beberapa orang yang radikal dan ekstemis merasa pada tahapan aktualisasi diri ketika menjalani pemikiran yang mereka yakini sehingga tidak dapat menerima saran dan masukan positif dari pihak lain.
Era internet memungkinkan arus informasi yang begitu cepat dan mudah diakses oleh siapa saja namun minim filter ideologi maupun konstitusi sehingga menyebabkan seseorang akan menjadi radikal ataupun ekstremis. Wawasan global memang perlu untuk pengetahuan dan pengembangan diri seseorang, namun ketika konten yang dibaca sudah mempengaruhi bahkan mengubah pola pikir seseorang menjadi radikal dan ekstremis maka sudah saatnya diperlukan adanya tindakan untuk menahan dan menanggulangi hal tersebut agar tidak mengakar di lingkungan khususnya dalam hal ini terkait dunia birokrasi yang dijalankan ASN.
Radikalisme dan ekstremisme tentunya akan menyebabkan disintegrasi bangsa karena nilai-nilai kerja sama maupun gotong royong tidak akan diterapkan secara maksimal. Tujuan dan sasaran bersama pun sulit tercapai karena ada agenda-agenda tertentu yang merusak integritas yang telah terbentuk. Pelaku radikalisme dan ekstremisme cenderung membatasi interaksi sosial mereka dengan lingkungan sekitarnya karena munculnya pemikiran eksklusif. Pada akhirnya, persatuan dan kesatuan semua elemen NKRI sebagai implementasi sila ke-3 tidak akan terwujud sehingga menyebabkan disintegrasi bangsa. Ketika bangsa ini tidak bisa bersatu padu, keadaannya terpecah belah bahkan keutuhan dan persatuannya juga menghilang dan timbul perpecahan. Disintegrasi bangsa ini menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selama ini tentunya menjadi perhatian serius terutama dalam lingkungan ASN.
Pemerintah sebagai salah satu elemen dari konsep penta heliks harus dapat menciptakan suasana penyelenggaraan pemerintahan dan reformasi birokrasi yang terarah dan kondusif untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati sebelumnya. Selain untuk menghindari disintegrasi bangsa, inovasi yang mendukung kolaborasi sinergis dapat terwujud sehingga potensi bahaya radikalisme dan ekstremisme dapat diredam bersama demi keutuhan bangsa dan negara kita. Memang upaya untuk menanggulangi radikalisme dan ekstremisme ini tidak mudah. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menemukan kembali definisi positif dari agama, politik, dan budaya yang diyakini serta diselaraskan dengan ideologi pancasila dan konstitusi UUD 1945. Definisi positif tersebut tentunya akan menguatkan karakter dan kepribadian bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara kita.